Minggu, 16 Desember 2012

nulis dan bisnis.

Tulisan lama itu hampir kelar. Jika saja , saya bisa walk out dari sejulah kegiatan di dua pekan tersisa, saya yakin di awal bulan, di awal tahun nanti, penerbit kedua bisa saya gedor.  naskah yang saya maksud adalah  novel kedua, setelah novel pertama resmi ditolak dua kali, maka saya fikir lebih elok jika saya mengambil jarak untuk menyelesaikan novel kedua terlebih dahulu dibanding novel pertama. Hei, bukankah kau yang bilang fokus satu persatu itu penting? memang. Namun, menulis tidak bisa dipaksakan selesai. Apalagi perkara merevisi ratusan halaman , maksud saya dua jilid ratusan halaman dengan sekali jalan, bukanlah hal yang mudah. Terlebih jika kegiatan sehari-hari jadwalnya begitu rapat, kecuali anda benar-benar menjadi seorang full time writer. Sedangkan saya? 

awal kepulangan ke kota langsa, yang hari ini cuacanya berubah-ubah sejak pagi, basah di subuh, lembab di dhuhha dan terik di zhuhur, rencananya saya memang ingin menjadi full time writer. namun godaan untuk menggunakan ijazah ternyata tidka bisa saya tepis. hingga akhirnya meluncurlah ijazah teknik kimia ke beberapa tempat. Nyaris saya kehilangan waktu khusus untuk menulis. curi-curi waktu, agar ada satu paragraf saja yang bertambah. Awalnya, berjalan lancar,lama-lama lenyap.

di akhir tahun 2011, saya berkeinginan melanjutkan sayap bisnis, sambil menulis. program awal yang sudah berubah. tidak hanya full time writer, tapi lima puluh - lima puluh. lima puluh persen nulis, lima puluh persen bisnis. Bisnis yang ingin saya garap ketika itu berkaitan dengan dunia fashion. Problem besar bagi saya yang sama sekali tidak paham dengan dunia rancangan baju dan mengenal mesin jahit pun tidak.
lalu apa yang terjadi? tiba-tiba harapan baru itu muncul dari arah yang tak tertebak. Ya, bukankah Allah selalu memberi rezeki dari arah yang tidak disangka?


setahun berlalu, saya masih meminta tanpa berhenti. setiap kali saya ingat, bahwasanya menjadi seorang pengusaha berarti menjadi seorang yang mampu menampung karyawan, yang bermakna pengentasan pengangguran, maka saya selalu merapal do'a. agar jalan ke sana dimudahkan. seorang pengusaha muslim yang setahu saya sedekahnya luar biasa sering berbagi resep menjadi pengusaha. salah satunya meminta dengan berulangkali setelah shalat dhuha.

katanya do'a harus spesifik ya? meski Allah tahu, tapi Allah menunggu kita meminta, berusaha dengan sungguh-sungguh. tidak ada nasib yang berubah jika kita diam di tempat. Nah, ternyata gayung bersambut, meski setahun harus menanti. Sebuah pelatihan berkaitan dengan jahit-menjahit digelar. Saya terlibat menjadi peserta, dan akhirnya saya lulus dengan nilai terbaik. PAdahal awalnya saya yang paling bodoh di antara peserta lainnya, tahu-tahu alhamdulillah menjadi kandidat terbaik, bersama dengan seorang teman lainnya yang memang sudah memiliki dasar.

ok, dear readers, saya minta do'anya, agar di awal 2013 urusan novel benar-benar kelar, lalu saya bisa start bisnis dengan lancar. 


sudut kota langsa, 16 desember 2012

Sabtu, 15 Desember 2012

senyum keluarga

"selalu saja ada hikmah dari setiap kegagalan, penolakan, pemecatan, dan hal-hal kurang menyenangkan lainnya. sabar saja, carilah celah untuk melihat kebaikan dalam segala perkara. kau, yang didera perasaan tak nyaman, percayalah tak ada kebaikan yang tak terganti" shafira green sulaiman

Malam itu, saya sedikit kaget. kecewa itu menghadang dari segala sisi. secepat itu keputusan paling tidak tertebak muncul tiba-tiba. saya baru selesai dengan satu urusan dan siap-siap bertanya tentang urusan selanjutnya. Namun, yang saya dapati adalah ujian kecil. Loncatan kecil yang resmi padam.
saya tatap si pemberi kabar, meneliti mimik wajah, mendengar tertib setiap huruf yang dilisankan, berharap saya tidak salah dengar. secepat ini semuanya berubah?

baiklah,sepertinya saya harus menuliskannya secara lebih detail, sebagai kenangan di hari esok agar menjadi pembelajaran bagi saya sendiri.

 suasana kantor malam itu sudah sepi. jam dinding sudah bergeser ke angka setengah sepuluh. Di kantor kedua, tersisa saya dan tiga karyawan. penghuni lainnya berebutan memindahkan kendaraan dari parkiran kecil yang menghadap langsung ke jalan raya, secepat mungkin memacu kendaraannya. saya menyerahkan beberapa berkas yang selesai di isi oleh seisi kelas. meja resepsionis sudah rapi. tak ada berkas lain, selain dua kotak kaca kecil berisi lembaran promosi yang tak berpindah-pindah posisinya sejak saya bekerja di sana.

perbincangan pun bergulir. pekerjaan tambahan di akhir pekan yang sebenarnya sedikit saya cemaskan akhirnya dihentikan total. Seketika ada biru yang menghantam. bagaimana tidak, sederet rencana untuk menuntaskan pekerjaan tersebut secara luar biasa sudah ter-draft dengan rapi. Bahkan, sejumlah amunisi yang sebenarnya tak terlalu penting telah genap saya sediakan. Ibahkan, saya sudah mengeset ulang jadwal sedemikian rupa. mendelete hal-hal yang tidak penting dan menggesernya di awal pekan dengan cara bolos kerja di tempat lain yang tidak terlalu memerlukan keberadaan saya demi pekerjaan di akhir pekan tersebut.

saya tersenyum, mencoba berdamai dengan perang di dalam diri. Tak apa, itu yang saya ucapkan. gontai, membuka pintu, melaju ke parkiran.memastikan kondisi sepeda motor tak ada yang aneh, lalu melaju pulang. sejumlah pertokoan dan warung kopi "elite" masih beraktifitas. dingin menelusup, mengajak saya kembali berdamai.

bukankah kau, yang cemas berlipat ketika ditawari pekerjaan itu? takut tak layak, takut tak mampu menuntaskannya?

ya

bukankah kau pula yang protes pada jam kerja yang menjepit jadwal shalatmu? tepat lepas azan bukanlah hal yang menyenangkan untuk memulai kerja, bukankah tak suka jatah rawatibmu yang semakin tipis itu tergadai pula di akhir pekan?

benar

bukankah kau pula yang meminta, ketika sedang duduk dengan 'klien utamamu', hari itu, di hari pertama, agar Allah tunjukkan jalan keluar, di tengah ketakutan yang tak jelas muara. Supaya Dia jelaskan rinci, layak tidaknya kau menjadi bagian dalam pekerjaan tersebut. Bukankah kau yang meminta dengan hatimu, pelan, dan mengiba agar sekiranya tak layak supaya segera dijauhkan secepatnya?

ya.

saya berkendara dengan kecepatan yang sangat minim, pikiran saya benar-benar sedang berjalan ke belakang. Mengingat-ngingat kembali apa yang saya minta sepekan sebelumnya. dan ternyata jawaban itu benar-benar hadir.

lalu , bagaimana dengan amunisi yang telah disiapkan? dengan angka rupiah yang sudah terbayang

saya kembali tersenyum, mengulang beberapa ayat yang mulai terhapus sedikit, helai ketenangan itu hadir, segala kecewa tercabut sempurna. ya, ini yang saya pinta, dan ternyata sempurna dipilihkan oleh pemilik hidup. mungkin saja, karena niat saya sejak awal menerima pekerjaan tersebut lebih besar ke orientasi rupiah daripada kinerja yang optimal, bisa-bisa fokus saya malah kacau.

Tahukah kau, apa yang saya dapatkan setelah terlepas dari beban di akhir pekan?
senyum keluarga
Bukankah ada hal-hal yang tak bisa dibeli dengan uang?


dipos di kota langsa, 00.46, 16 desember 2012


Senin, 03 Desember 2012

deadline resolusi



salah satu hal yang menyenangkan adalah ketika kita mampu menikmati setiap denyut persoalan dalam hidup dengan energi melimpah, energi positif yang lahir dari semangat menjemput mimpi. Bukan dengan membiarkan hidup mengalir tanpa rencana  -shafira green sulaiman-


Hari senin kembali dimulai. Senin pertama di bulan desember. Senin pertama menjelang penutupan deadline resolusi dua ribu dua belas. Ada apa dengan resolusi dua ribu dua belas? apa isinya?berhasilkah atau gagal total?
Bagi orang yang hidupnya hanya dibiarkan mengalir tanpa arah, dengan loncatan-loncatan yang tak pernah ingin dimajukan secara serius, nyaris statis(kalau tidak disebut merangkak) maka sisa hari di tahun ini akan tetap menjadi hari-hari yang biasa saja. Tak ada keistimewaan yang dinanti.
Lalu apa jadinya dengan mereka yang memenuhi hari-hari  di tahun ini dengan sejuta target yang ingin dicapai?Bagi orang-orang yang terbiasa hidup dengan rencana dan target, Mungkin saja, harap-harap cemas muncul di sisa hari yang ada, beberapa mimpi dan rencana kelar, beberapa lagi jangankan terealisasi, muncul batang hidungnya saja tidak. But, tenang saja, meski miris rasanya ketika melihat kertas, buku, atau dimanapun kita menuliskan impian 2012 secara nyata belum terjadi keseluruhan, coba cek kembali apakah semuanya menemui titik nol, masih di titik yang sama ketika dituliskan atau tidak?

“beberapa jelma, seperti yang diinginkan”

“beberapa bernafas, tapi tak secantik yang diimpikan”

“beberapa hanya menunjukkan titik nyala saja, tapi kemudian tak jadi berbinar”

“beberapa malah belum muncul, berganti dengan hal yang sama sekali tak diingini”

Adakah yang salah dengan resolusi kita? apakah kita disebut pecundang, pemalas hanya gara-gara resolusi tidak kelar

Tidak, saudara-saudara. Ketika kita menjalani hidup dengan planning yang rapi, tidak begitu saja membiarkannya mengalir dan akhirnya mengalir ke selokan, anda lebih beruntung dibanding orang-orang di luar sana, dibanding mereka yang sama sekali tidak memiliki rencana akan melakukan apa esok hari. Lebih beruntung dari mereka yang menjelang tidur, sama sekali tidak melirik kembali apa yang telah mereka lakukan seharian, untung atau rugi, dan merencanakan apa yang akan mereka lakukan esok hari. Mereka memilih Membiarkan hidup berlangsung tanpa  rencana yang penuh tantangan. 
karena ketika kita melakukan sesuatu berdasakan planning, ada energi positif yang secara tidak sadar juga mampu menghipnotis lingkungan sekitar kita. Dibanding mengeluh, kenapa tidak kita syukuri saja target-target yang sudah muncul atau yang digantikan dengan hal lebih baik oleh Dia? dan selanjutnya kembali bergerak menuntaskan impian-impian tersebut di sisa waktu yang ada. Ingat, ketika anda bergerak dengan rencana yang matang, anda akan bergerak dengan energi positif yang berlimpah. meski tidak mencapai hasil maksimal, setidaknya anda jauh lebih berenergi dibanding orang-orang yang tidak mau merencanakan hidup mereka. setidaknya waktu anda tidak akan terbuang sia-sia


salam
shafira green sulaiman


ditulis di sudut kota langsa, 3 desember 2012


Sabtu, 01 Desember 2012

Waktumu terbatas (repost)


Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjadi orang lain. Jangan terjebak dengan dogma, yakni hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan riuhnya opini orang lain menenggelamkan suara hatimu (Steve Jobs)
Mengawali tulisan kali ini, sebagai pembuka, setelah setahun menghilang, saya sengaja mengutip kata-kata pendiri apel yang dikabarkan sudah meninggal sebagai pelajaran penting bagi kita yang masih bernafas.
Kalau saya boleh sebut, seratus persen pernyataan beliau adalah sangat akurat kebenarannya. Bukan hal yang harus ditutupi lagi bahwasanya setiap mimpi yang dimiliki oleh manusia yang bergerak di muka bumi ini tidak sepenuhnya akan bisa diterima oleh orang lain, sedekat apapun hubungan sosial si pemilik mimpi dengan orang-orang yang menyalahkan atau meremehkan mimpi-mimpinya tersebut. Sebagai contoh nyata, saya ingin berbagi kisah saya sendiri, supaya tidak dianggap menuliskan kabar HOAX.
Ceritanya begini, pada suatu hari (gaya anak SD bercerita),  selama dua tahun belakangan ini saya seperti diingatkan akan mimpi lama saya, mimpi lama yang saya tanam sejak SMA, yaitu terjun di bidang tulis menulis. Awalnya, sejak SMA, saya ini sudah keranjingan menulis, di setiap jam istirahat, dimana lazimnya siswa-siswa keluar ruangan untuk sekedar mengisi perut, saya malah lebih sering berada di kelas, menggerakkan pulpen yang saya punya dan baru akan berhenti ketika bel masuk berbunyi. Pertama kali yang saya tulis adalah puisi, lalu lambat laun merambah ke cerpen hingga akhirnya, hari ini dua naskah panjang seratusan halaman lebih yang sedang saya rancang selesai. Namun, selesai dalam tanda kutip alias perlu revisi panjang, hehe, mohon do’anya ya, agar ada penerbit yang berminat.
Nah, jadi , sewaktu mulai nulis kembali, banyak opini orang yang saya dapati menjatuhkan. Bahkan, kalau boleh menyebut kasar, memang ingin mematikan apa yang sedang saya jalani. Tak sedikit orang-orang yang meremehkan mimpi saya terjun ke dunia tulis menulis sebelum menyelesaikan S-1. Saya, yang memang terkenal cuek dengan kekuatan beberapa orang didekat saya yang mendukung sepenuhnya apa yang saya kerjakan, memilih tetap berjalan ke depan, tanpa mau melirik kiri dan kanan, memasang kacamata kuda, pasang sumbat telinga. Karena dalam sebuah mimpi yang kita yakini keberadaannya menjadi nyata, saya percya tumpang tindih cobaan memang akan hadir. Bisa saja sebagai jawaban dari langit, sejauh mana kamu bertahan dengan keyakinan yang kamu punya. Jika hanya dengan badai kecil seperti ini (hujatan, makian, ejekan, dll) kamu tidak mampu bertahan, bagaimana nantinya, saat kamu berada di posisi yang ingin kamu raih. Jangan-jangan begitu naik podium, kita langsung terguling, menggelinding, digilas, lalu mati. Percayalah, bahwasanya di setiap deras dan guntur yang membadai akan ada pelangi kebahagian di ujungnya, yang sabar yaaa.
Setahun yang lalu, saya sama-sama mengejar ketinggalan tugas akhir bersama teman-teman kampus. Saat itu saya merasakan ada perbedaan yang sangat mencolok antara saya dan mereka dalam hal mimpi. Memang apa yang mereka sarankan tidak salah, namun jikalau saja saya menerima mentah-mentah saran mereka untuk fokus saja ke kuliah dulu, OH, tentu saja sekarang saya sudah kehilangan arah berjalan. Dengan tegas, selalu, siapapun yang bertanya, kapn kamu tamat, insyaAllah jika saya sudah punya buku, jawab saya mantap. Berkali-kali kalimat ini saya keluarkan.  Bukankah ucapan adalah sebuah do’a. Nah, jadi tak salahkan mendo’akan yang baik buat diri sendiri.
Lagipula, setahu saya seseorang yang bisa fokus terhadap banyak hal sekaligus semaki sedikit ditemukan. Memilih satu saja hal yang ingin dikerjakan secara serius dalam satu waktu adalah resep sukses yang saya pelajari dari kebanyakan orang di negeri ini, dan juga orang-orang sukses di luar sana. Hingga akhirnya, dengan segala tekanan dan suara, melalui sms, ataupun telepon, saya tetap memilih menyelesaikan apa yang saya pilih saat itu. Menyelesaikan halaman tebal pertama sambil terus menikmati kabar bahwasanya beberapa tulisan saya dimuat dalam sekitar 4 atau  lima antologi. Dan akhirnya, di akhir tahun lalu, halaman panjang pertama tuntas. Lalu dengan segala ketinggalan akan tugas akhir, saya yang akhirnya bisa fokus total, karena sudah punya satu modal untuk mimpi yang saya bangun, akhirnya bisa selesai dalam hitungan bulan saja. Ide-ide segar mengalir setelah blockade perihal mimpi yang saya anggap lebih urgent saat itu selesai saya lewati.  Alhamdulillah ramadhan kemarin setelah menunggu beberapa bulan jadwal wisuda, akhirnya saya resmi menjadi seorang Sarjana teknik.
Setidaknya sekarang setelah ijazah resmi di tangan, tepat seminggu yang lalu, saya tahu kemana saya akan berjalan. Setengah hari di awal nulis, setengah hari bagian kedua kerja kecil-kecilan—ceritanya nambah relasi.
Pesan saya, tanpa maksud menggurui, jika memang anda punya mimpi yang begitu tinggi segera gunakan kapas di telinga, sumbat sedalam mungkin agar suara sumbang di luar sana, tidak merobohkan bangunan mimpi yang sedang anda susun. Teruslah berjalan, percayalah mimpi yang besar yang dikerjakan secara fokus, akan membimbing anda menemukan jalan berbinar dengan orang-orang yang mungkin sebelumnya tidak anda kenal, tiba-tiba muncul merangkul mimpi anda.
 So, lupakan mereka pematah mimpi. Paling-paling cuma ngantar sampai di depan kuburan doang!!! :D
Selamat meraih mimpi teman. Terimakasih sudah berkunjung. Akan segera blogwalking, InsyaAllah
gambar diambil dari hmjmfeunsoed.wordpress.com
catatan lama 10 oktober 2011

Sabtu, 14 April 2012

Ketika Allah menunda sebuah permintaan :)



Seringkali, saya terjebak dengan keinginan-keinginan yang berloncatan. Menjulang, menurun, berganti-gantian ketika saya memikirkan deretan pekerjaan yang saya impikan. Sementara, di satu sisi, saya sendiri terjebak dengan mempertahankan kenyamanan dan tidak mau keluar dari zona nyaman tersebut. Hal berbahaya yang selama ini tetap saya jalani.

Berada di zona nyaman, bisa saja bermakna mematikan kreatifitas. ketika seseorang merasa betah, kerasan, atau apapun istilah yang anda suka, saat itulah seharusnya dia membuka pintu, menghirup udara berbeda di luar agar kreatifitasnya bisa lebih berkembang.

Setengah tahun saya menikmati zona nyaman. Kerja tak terlalu jauh dari rumah, dengan rutinitas yang seperti absen harian, namun sama sekali tidak melelahkan. Siap-siap di awal bulan memperoleh gaji, meski tak seberapa, namun cukup untuk beli ini itu, lalu? Dengan segala kenyamanan tersebut, tanpa disadari saya membiarkan diri saya mati pelan-pelan. Mati dengan otak yang membeku. Tak ada peningkatan kemampuan yang cukup berarti, ataupun penambahan wawasan yang melejit, hanya kenyamanan sesaat.  Kenyamanan yang membuat saya mati pelan-pelan. Karakter saya terbunuh. Saya yang dengan segala rutinitas di kampus dulu, betah berlama-lama di depan komputer, mengejar deadline, justru menjadi pribadi yang semangatnya mengerdil.

Di suatu petang yang sedikit melelahkan, kabar berbeda tersebut muncul tanpa pernah saya duga sebelumnya. mulanya, saya kira perihal kelulusan di tiga tempat sebelumnya yang sudah melewati serangkaian tahap, ketiganya berada di kota langsa juga, namun ternyata sama sekali tidak membawa aroma ketiga tempat tersebut; Ketiga tempat yang rutin terujar dalam setiap rakaat shalat hajat yang tak henti-henti tergelar, di tengah kecemasan akan rezeki yang seperti terhalang. perpaduan antara kecemasan dan keinginan mengasah kemampuan di tempat yang lebih baik: ketika saya mulai sadar bahwa saya sudah masuk zona nyaman.

Semuanya menjadi jelas, bahwasanya Allah menangguhkan, memberi sabar yang lebih panjang, hingga akhirnya apa-apa yang saya minta diganti dengan sesuatu yang lebih pantas menurut pandangan-Nya, sesuatu yang sebelumnya bahkan tidak terfikir untuk saya mintai. Ketika pekerjaan tersebut seolah turun begitu saja dari langit, maka nikmat mana lagi yang bisa saya ingkari.

Langsa, 15 April 2012

Next: bagaimana sedekah dan dhuha menjadi pintu-pintu rezeki.



Sabtu, 24 Maret 2012

coffee crispy

Secangkir kopi ketika menulis, mungkin bukan pilihan setiap orang. Namun, secangkir kopi kadang kala cukup menjadi teman yang kompak ketika gagasan bermunculan seperti peluru yang ditembakkan ketika perang terjadi, atau sesekali menjadi teman saat kekosongan bernama ide yang raib hadir tiba-tiba, bahkan ketika ide tersebut urgent status kehadirannya.

Beberapa orang yang saya kenal-berprofesi sebagai penulis, cenderung menjadikan kopi, entah pahit atau dengan beragam rasa yang dimodifkasi dewasa ini, sebagai karib wajibnya ketika naskah-naskah berjejalan minta diselesaikan.

saya pun tertarik untuk mencoba, ada apa sebenarnya di balik secangkir, atau beberapa, kopi saat seseorang sedang menulis. Penasaran. NAmun, yang sering terjadi bukanlah menikmati kopi berbarengan menulis, melainkan karena kelezatan rasa kopi(yang semakin bervariasi), saya cenderung menghabiskan isi cangkir terlebih dahulu. Lalu, mulai menekan-nekan keyboard laptop, menulis, menyelesaikan gagasan yang belum kelar.

Menulis, serangkaian aktifitas, beginilah saya menyebutnya, yang memberatkan sekaligus meringankan. Menulis, bukan hanya tulis - tulis segala huruf yang kau hafal saja, melainkan menyelesaikan gagasan yang berperang di kepala, menuangkannya menjadi kosakata menarik -setidaknya bagi diri sendiri- memenuhi setiap kekosongan makna dengan beragam informasi, sesepele apapun. Menulis memberatkan ketika si penulis sendiri merasa tertekan dengan apa yang ditulisnya, baik isi, maupun jadwal yang harus dikejar ketika tulisannya menjadi pesanan pihak lain. Menulis menjadi meringankan ketika ia menjadi lahan pelampiasan masalah, atau istilah kerennya curhat. lepas tulisan, lepaslah sejenak kepenuhan di kepalanya. Meski, dalam beberapa kasus, permasalahan tersebut tidak tuntas hanya dengan menuliskannya. Setidaknya, menulis bisa meringankan sedikit beban, ya, meski hanya seujung kuku.

Salam
Langsa, 24 maret 2012