Kamis, 16 Mei 2013

Dari Langsa, Mengumpulkan Potongan yang tertinggal di Meureubo


Segudang cerita dari meureubo kembali menyerang labirin kosong yang mulai menemukan jalan keluar, di kepala saya, yang akhir-akhir ini sering berdebam. Berdebam karena persoalan-persoalan yang melesak-lesak masuk tanpa diundang, disertai bumbu-bumbu yang rasanya sungguh menggalaukan. Dihadapkan dengan banyak pilihan dalam satu waktu sekaligus, sekilat mungkin, bahkan tak sampai sekedip mata memang bukan perkara yang menyenangkan. Tapi, setidaknya keberadaan saya kembali di sini, di meureubo harvard (julukan keren buat kos-kosan asri di kawasan sektor selatan darussalam), kembali memompa semangat menulis yang pudar begitu lama. Sampai-sampai dua novel yang saya rancang, satunya sukses ditolak dua kali, satu lagi masih tahap revisi, sampai detik ini masih belum bisa dikatakan layak diedarkan.

Berkali-kali saya mencoba memompa semangat dengan berbagai cara, senantiasa berkunjung ke perpustakaan kota di akhir pekan, khusus meminjam, melirik-lirik sejenak nama-nama penulis yang ada di rak buku, sesekali sengaja hanya mengembalikan buku saja, yang penting saya berada di antara aroma-aroma buku yang saya harapkan mampu menebas blokade yang menimpa semangat menulis saya.

Seingat saya novel pertama yang pernah saya tulis selesai saya kerjakan dalam 10 hari saja. Tanpa revisi, barulah kemudian menyicil revisi. Sepuluh hari untuk jumlah halaman 100-an bagi saya adalah prestasi tersendiri. Bayangkan saja, berapa banyak halaman yang bisa saya tulis kala itu, bahkan pernah mencapai 15 halaman dengan spasi satu setengah perharinya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan sekarang. Satu atau dua halaman saja sehari rasanya sulit. Bukan karena kekurangan ide, tapi hilangnya konsisten, penyediaan waktu khusus untuk menulis pelan-pelan memudar seiring kehilangan teman-teman yang punya hobi serupa, dan-ya, alasan klasik- sibuk bekerja.  

Baru kali ini, ketika saya kembali ke meureubo, di tempat saya dulu pertama sekali berjuang mati-matian menulis, sendirian, sebelum menemukan komunitas bernama FLP,  semangat menulis itu seolah berhamburan masuk ke setiap pori-pori dan sendi.  meski baru tiga hari kembali kemari, tapi buku catatan yang saya beli khusus untuk menuliskan sejumlah langkah di sini, benar-benar bergerak maju. Ide-ide keluar tanpa diminta,  tangan saya sampai pegal karena harus menulis secara manual, di mana pun si ide tiba-tiba muncul. Di  teras perpustakaan induk unsyiah, ketika sedang melihat antrian masuk ke gedung AAC mengular, di mesjid baiturrahman, ketika saya menemukan sosok ajaib yang mengajarkan saya banyak hal meski sama-sama tidak sempat bertegur sapa, di meureubo, ketika banyak kejadian tak terduga sekaligus menggelikan berbaris begitu rapi. Ya, di mana saja, saya menemukan ide, maka saya akan berhenti sejenak, mencari tempat duduk, mulai menulis tanpa menggubris pandangan orang yang menganggap aneh.  Karena seprti ini yang saya lakukan dulu, ketika awal-awal saya belajar menulis secara otodidak. Ketika apa pun yang saya lihat bisa menjadi ide, yang kemudian saya simpan dalam brangkas ide di laptop saya. Ya, dengan kertas dan pena, tak mesti lari-lari menjemput laptop, sayang si ide nanti keburu lari duluan.

Barangkali tulisan ini bisa menjadi kata pengantar untuk cerita-cerita yang sedang saya kumpulkan , dalam serangkaian perjalanan kembali ke banda aceh.. mana tahu bisa jadi catatan perjalanan yang diterbitkan. SEMOGA!!!
(tiba-tiba teringat keseluruhan draft buku yang harus diselesaikan, draftnya banyak, ngerjainnya ini yang wah wah...)

Meureubo Harvard (rindu sekali menuliskan nama ini di akhir tulisan)
17 mei 2013


Selasa, 12 Maret 2013

Filosofi layangan


 Filosofi layangan
shafira green sulaiman
kota langsa, selasa/12maret2013

 (foto diambil dari www.rimanews.com)

Cuaca kota langsa akhir-akhir ini cukup lumayan (panas). Jika kau punya sebutir telur yang mendadak kehilangan kompor dan penggorengan serta minyak untuk mengganti wujud aslinya menjadi telur mata sapi atau telur dadar, maka kurasa inilah saat-saat yang tepat untuk melakukan uji coba tak berhadiah. Ambil saja sebutir telur belum matang lalu pecahkan di jalanan, tunggu saja beberapa menit, kemungkinan yang akan terjadi adalah dihadiahi repetan panjang dari ibu-ibu penyapu jalan. *coba saja*

Di hari-hari seperti ini,  di sore hari saat pergantian musim hujan menuju kemarau, kau akan mudah menemukan layang-layang menghiasi angkasa. Ragam bentuk dan ukuran.  Tak hanya anak-anak kecil dengan ingus yang kadang masih berbekas di sekeliling hidungnya, namun orang tua yang bahkan sudah ubanan pun tak lupa meramaikan pesta layang-layang di lapangan kecil dekat rumah kami.

Wajah Sore yang masih bermatahari hingga pukul enam petang seringkali cukup kompak dengan tarian angin yang bergerak menawan, berdansa dengan layang-layang yang ditarik ulur oleh para penikmatnya. Bahkan aku seringkali harus menemukan anak-anak kecil berjuang menggotong layangannya pulang, menjelang garis-garis merah di langit hadir pertanda malam hampir datang, layangan dengan ukuran dua kali besar badannya. Satu tangan menggenggam gulungan benang, entah di kaleng susu bekas, entah botol air mineral bekas, satu tangan lagi memegang kuat salah satu bagian layangan yang disangkut di pundaknya. Teman-teman kecilnya yang mengekor kebagian memegang bagian ekor agar tak bertengkar dengan aspal yang cukup menguap dan menghilangkan ekornya begitu saja.

Suatu petang, dengan terik yang masih cukup untuk mengeringkan baju-baju basah  baru dijemur, seorang pria dengan wajah lusuh, badan seluruhnya keringatan, basah, berjalan tanpa semangat kembali ke rumah. Pria agak tua (kesulitan menemukan kata-kata yang tepat, muda tidak lagi, terlalu tua juga tidak) tersebut menggendong rangka layangan  tanpa kertas layang. Rumahnya tak jauh dari rumahku.  Hanya selempar pandangan saja jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang dibawa pulang saat itu.  Dan dari hasil wawancara tak penting, ternyata layangannya meledak di atas sana, angin kurang bersahabat petang itu.

Tiba-tiba muncul gagasan (tak baru mungkin) tentang Filosofi layangan,
kau bisa terbang setinggi mungkin, selama angin cukup bersahabat, atau kau mampu melawan angin. Tapi ingatlah, bahwa ketika  jarakmu dari daratan semakin jauh, semakin melambung, ada dua kemungkinan yang bisa kau temukan. Kau bisa saja melenggang di atas sana mengalahkan layangan lainnya, meliuk sesuka hati, bergerak ke kanan kiri, lalu mendarat kembali dengan mulus, perlahan dan utuh ketika angin cukup baik hati. Namun sebaliknya, kau bisa saja terhempas, terkoyak-koyak tanpa pakaian, ketika kau sudah melambung begitu tinggi, saat angin bergerak di atas kemampuanmu bertahan, lalu mendarat dengan hanya bermodalkan rangka. Sama seperti ketika kau baru mulai dirakit.
Ini masalah hidup teman, kau tidak bisa memilih di rahim siapa kau akan hidup pertama kali, tapi kau bisa memilih jalan mana  yang ingin kau lalui untuk  kembali ke asalmu yang sebenarnya.







Selasa, 01 Januari 2013

Hari baru 2013

Hari ini tahun baru masehi, angka tahun yang berbeda muncul lagi. Semangat melemparkan berbagai resolusi ke setiap ruangan kembali hadir. HAri ini, hari baru muncul kembali, disambut bulir-bulir dari langit yang jatuh pelan-pelan, lalu menukik tajam menghujam bumi sejak dini hari. Mulanya kukira, tak akan ada dentuman layaknya tahun baru yang sudah-sudah di kota ini, kota Langsa yang  beberapa waktu lalu berganti pemimpin. Desus yang terdengar tak boleh ada dentuman apapun di malam tahun baru. Lapangan merdeka disisir bersih, tak boleh ada pedagang layaknya malam-malam biasa, berjualan di pinggir trotoar. Saban malam, ramai pedagang makanan atau pun pernak -pernik kecil berjualan di sepetakan lapangan merdeka. Lapangan utama di kota langsa yang lokasinya bersebelahan dengan monumen bambu runcing (kalau saya boleh menyebutnya monumen). Ramai pula oleh pengunjung yang sekedar mengisi perut.

LApangan ini biasanya setiap tahun baru, ramai berkumpul massa, -yang entah apa agamanya- menikmati, menanti momen pergantian tahun dengan cara yang belum pernah saya dengar diajarkan oleh guru-guru mengaji saya sejak kecil. biasanya pedagang terompet akan berebut lapak sejak senja ataupun satu hari sebelum tahun baru hadir. Namun, gagas peraturan telah tersebar kabarnya, larangan tetap larangan. Melanggar berarti mencari pasal. Seorang penjual terompet, kabar ini saya dengar dari anak tetangga yang semalam mondar-mandir ke lapangan, ditangkap oleh petugas. Sementara, di lapangan tak ada hentak-hentak suara tak sedap, program utama semalam adalah zikir bersama.

Aku sungguh menikmati, nuansa yang berbeda. Mulanya demikian, tak ada suara terompet dari anak-anak di sekeliling rumah, tak ada petasan atau pun kembang api. memang tak ada hal istimewa yang ditunggu, apalagi menunggu telinga bergetar hebat. Tengah malam pun datang, suara-suara tak sedap itu muncul, Menyebalkan.!