Selasa, 12 Maret 2013

Filosofi layangan


 Filosofi layangan
shafira green sulaiman
kota langsa, selasa/12maret2013

 (foto diambil dari www.rimanews.com)

Cuaca kota langsa akhir-akhir ini cukup lumayan (panas). Jika kau punya sebutir telur yang mendadak kehilangan kompor dan penggorengan serta minyak untuk mengganti wujud aslinya menjadi telur mata sapi atau telur dadar, maka kurasa inilah saat-saat yang tepat untuk melakukan uji coba tak berhadiah. Ambil saja sebutir telur belum matang lalu pecahkan di jalanan, tunggu saja beberapa menit, kemungkinan yang akan terjadi adalah dihadiahi repetan panjang dari ibu-ibu penyapu jalan. *coba saja*

Di hari-hari seperti ini,  di sore hari saat pergantian musim hujan menuju kemarau, kau akan mudah menemukan layang-layang menghiasi angkasa. Ragam bentuk dan ukuran.  Tak hanya anak-anak kecil dengan ingus yang kadang masih berbekas di sekeliling hidungnya, namun orang tua yang bahkan sudah ubanan pun tak lupa meramaikan pesta layang-layang di lapangan kecil dekat rumah kami.

Wajah Sore yang masih bermatahari hingga pukul enam petang seringkali cukup kompak dengan tarian angin yang bergerak menawan, berdansa dengan layang-layang yang ditarik ulur oleh para penikmatnya. Bahkan aku seringkali harus menemukan anak-anak kecil berjuang menggotong layangannya pulang, menjelang garis-garis merah di langit hadir pertanda malam hampir datang, layangan dengan ukuran dua kali besar badannya. Satu tangan menggenggam gulungan benang, entah di kaleng susu bekas, entah botol air mineral bekas, satu tangan lagi memegang kuat salah satu bagian layangan yang disangkut di pundaknya. Teman-teman kecilnya yang mengekor kebagian memegang bagian ekor agar tak bertengkar dengan aspal yang cukup menguap dan menghilangkan ekornya begitu saja.

Suatu petang, dengan terik yang masih cukup untuk mengeringkan baju-baju basah  baru dijemur, seorang pria dengan wajah lusuh, badan seluruhnya keringatan, basah, berjalan tanpa semangat kembali ke rumah. Pria agak tua (kesulitan menemukan kata-kata yang tepat, muda tidak lagi, terlalu tua juga tidak) tersebut menggendong rangka layangan  tanpa kertas layang. Rumahnya tak jauh dari rumahku.  Hanya selempar pandangan saja jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang dibawa pulang saat itu.  Dan dari hasil wawancara tak penting, ternyata layangannya meledak di atas sana, angin kurang bersahabat petang itu.

Tiba-tiba muncul gagasan (tak baru mungkin) tentang Filosofi layangan,
kau bisa terbang setinggi mungkin, selama angin cukup bersahabat, atau kau mampu melawan angin. Tapi ingatlah, bahwa ketika  jarakmu dari daratan semakin jauh, semakin melambung, ada dua kemungkinan yang bisa kau temukan. Kau bisa saja melenggang di atas sana mengalahkan layangan lainnya, meliuk sesuka hati, bergerak ke kanan kiri, lalu mendarat kembali dengan mulus, perlahan dan utuh ketika angin cukup baik hati. Namun sebaliknya, kau bisa saja terhempas, terkoyak-koyak tanpa pakaian, ketika kau sudah melambung begitu tinggi, saat angin bergerak di atas kemampuanmu bertahan, lalu mendarat dengan hanya bermodalkan rangka. Sama seperti ketika kau baru mulai dirakit.
Ini masalah hidup teman, kau tidak bisa memilih di rahim siapa kau akan hidup pertama kali, tapi kau bisa memilih jalan mana  yang ingin kau lalui untuk  kembali ke asalmu yang sebenarnya.