asrama ITB Jatinangor |
Sudah setengah tahun saya berada di jatinangor, tinggal di asrama ITB yang menurut saya sangat nyaman ditempati. Perihal bagaimana saya bisa terdampar di sini dan bisa menikmati sekolah gratis dari beasiswa saintek dikti, akan saya ceritakan di tulisan lainnya (kalau tidak malas). Enam bulan Melewati fluktuasi cuaca dan udara yang sungguh ajaib. Di sini, setiap orang akan merasakan harap-harap cemas di musim hujan seperti sekarang ini. menjaga jantung agar tidak berdegup terlalu cepat, berkali-kali melihat langit saat hendak bertolak kemana saja.
Hujan
di sini sering sekali muncul. Di musim penghujan seperti sekarang, jangan lagi
ditanya, kehadiran hujan seakan-akan memang sudah memiliki jam kerja sendiri. Saban
sore, menjelang ashar atau lepas ashar, awan
gelap akan berpayung di atas sana. Kedatangannya membawa hujan yang kadang kala hanya berupa rinai, berjarum
tipis. tak cukup membawa rinai tipis,
bongkahan kecil serupa es serut juga pernah
menghujani kawasan jatinangor beberapa hari yang lalu. Hari yang sangat mencekam menurut saya. Karena
di sini hujan tak akan datang sendirian. Karibnya bernama guntur dan halilintar datang bersamaan membawa
suasana gelap semakin menakutkan.
Saat
ini saya bermukim di kawasan yang agak tinggi, kaki gunung yang menanjak.
Tinggal di lantai 4 dengan status lahan yang agak tinggi, suka tidak suka harus
merasakan parade guntur dan halilintar dalam jarak yang terasa begitu dekat.
Kamis lalu, dua karib hujan ini berhasil membuat panik anak-anak asrama. Sebelum
ashar, langit sudah gelap. Guntur dan halilintar kompak riuh di atas sana. Bahkan
kedatangannya seperti menerobos jendela kamar.
Suasana kamar yang gelap karena gorden jendela sudah saya tarik,
mencegah sinar terang yang berlebihan dari langit, ternyata tidak berarti
apa-apa. Sinar-sinar tajam tetap menerobos, juga suara yang cukup
menggelegar, getarannya terasa di dalam
kamar yang tertutup rapat.
Lepas
shalat ashar, mendengar hujan mulai mengetuk jendela kaca besar, saya bergegas ke balkon di belakang kamar. Beberapa
jemuran masih belum dipindahkan. Urung. Halilintar dan guntur seakan mendorong
saya kembali ke dalam kamar sebelum sempat menyelamatkan sisa jemuran. Seperti sejengkal di atas kepala. Benar-benar
mengerikan. Saya mencoba meredam perasaan yang campur aduk. Sungguh, hari itu
guntur dan halilintar terasa begitu dekat, meski di kawasan jatinangor ini
adalah hal yang lazim mendengar dentuman atau kilatan cahaya setiap kali hujan
datang. Mengambil al-quran, kembali duduk.
Belum
tuntas membaca satu halaman, halilintar dan guntur yang lebih mengerikan
menyerang asrama. Alarm di lantai lima berbunyi sangat keras. Refleks, saya membuka pintu kamar,
melihat ke sekeliling, tak ada satupun orang. Dan entah dorongan dari mana,
saya menggedor pintu kamar sebelah sambil berteriak untuk segera keluar. Koridor
lantai 4 masih sepi, entah kuliah atau masih terlelap, sementara alarm di
lantai 5 tetap meraung-raung. Kembali ke kamar, dengan kepanikan yang tidak
bisa saya kendalikan, sigap mengambil
laptop, hp dan sekotak berkas penting, lalu kembali keluar kamar. Fikiran saya
campur aduk. Apa mungkin lantai 5 disambar, atau lantai lainnya terbakar, atau
dalam hitungan menit seluruh asrama akan tinggal cerita. Masih berteriak memanggil tetangga kamar yang
saya tahu ada di kamar, menurunkan pandangan ke lantai empat, beberapa
adik-adik s1 terlihat bergegas menuju tangga. Saya pun gegas mengunci pintu dan
semakin panik saat mendapati penghuni
asrama putra naik ke atas dan berteriak dengan wajah yang agak panik agar segera
turun ke bawah.
Apakah
ini jatah terakhir disini? Saya menuruni anak tangga dengan super kilat bersama
penghuni lantai empat lainnya. Petugas asrama dan beberapa satpam di lantai
satu mengintrogasi kilat, menanyakan sisa penghuni di atas sana, berlalu cepat,
menaiki anak tangga memanggil sisa penghuni.
Hujan
es. Itulah yang saya dengar dari teman-teman yang sudah berkumpul di lantai
satu. Suasana mencekam seperti itu mengingatkan saya akan gempa-gempa susulan
lepas tsunami 2004 yang lalu di aceh. Bukan sekali dua kepanikan seperti itu
muncul ketika saya kuliah di banda aceh, siapa menyangka jauh dari aceh yang
langganan gempa, ternyata kepanikan serupa
harus kembali saya rasakan.
Hampir
satu jam penghuni asrama berkumpul di lantai satu, beberapa masih dengan
mukena, turun seadanya dengan selimut, tanpa berkas penting yang sempat dibawa
atau pun alat komunikasi. Alarm akhirnya
berhenti berteriak. Meski masih was-was seluruh penghuni asrama kembali ke
kamar masing-masing merapal do’a agar tak perlu mendengar alarm kembali
bernyanyi.
sekian dulu, hanya ingin menyimpan sedikit kenangan
Asrama ITB Jatinangor
18 Maret 2014
1 komentar:
Saya anak Langsa yang sedang di Jatinangor juga, tapi Unpad. Tetanggaan kita :D
Posting Komentar