Selasa, 18 Maret 2014

Parade langit Jatinangor

asrama ITB Jatinangor


Sudah setengah tahun saya berada di jatinangor, tinggal di asrama ITB yang menurut saya sangat nyaman ditempati. Perihal bagaimana saya bisa terdampar di sini  dan bisa menikmati sekolah gratis dari beasiswa saintek dikti, akan saya ceritakan di tulisan lainnya (kalau tidak malas). Enam bulan Melewati fluktuasi cuaca dan udara yang sungguh ajaib. Di sini, setiap orang akan merasakan harap-harap cemas di musim hujan seperti sekarang ini. menjaga jantung agar tidak berdegup terlalu cepat, berkali-kali melihat langit saat hendak bertolak kemana saja.


Hujan di sini sering sekali muncul. Di musim penghujan seperti sekarang, jangan lagi ditanya, kehadiran hujan seakan-akan memang sudah memiliki jam kerja sendiri. Saban sore, menjelang ashar atau lepas ashar,  awan gelap akan berpayung di atas sana. Kedatangannya membawa hujan yang kadang kala hanya berupa rinai, berjarum tipis. tak cukup membawa  rinai tipis, bongkahan kecil serupa es serut juga pernah  menghujani kawasan jatinangor beberapa hari yang lalu.  Hari yang sangat mencekam menurut saya. Karena di sini hujan tak akan datang sendirian. Karibnya bernama guntur  dan halilintar datang bersamaan membawa suasana gelap semakin menakutkan.

Saat ini saya bermukim di kawasan yang agak tinggi, kaki gunung yang menanjak. Tinggal di lantai 4 dengan status lahan yang agak tinggi, suka tidak suka harus merasakan parade guntur dan halilintar dalam jarak yang terasa begitu dekat. Kamis lalu, dua karib hujan ini berhasil membuat panik anak-anak asrama. Sebelum ashar, langit sudah gelap. Guntur dan halilintar kompak riuh di atas sana. Bahkan kedatangannya seperti menerobos jendela kamar.  Suasana kamar yang gelap karena gorden jendela sudah saya tarik, mencegah sinar terang yang berlebihan dari langit, ternyata tidak berarti apa-apa. Sinar-sinar tajam tetap menerobos, juga suara yang cukup menggelegar,  getarannya terasa di dalam kamar yang tertutup rapat.

Lepas shalat ashar, mendengar hujan mulai mengetuk jendela kaca besar,  saya bergegas ke balkon di belakang kamar. Beberapa jemuran masih belum dipindahkan. Urung. Halilintar dan guntur seakan mendorong saya kembali ke dalam kamar sebelum sempat menyelamatkan sisa jemuran.  Seperti sejengkal di atas kepala. Benar-benar mengerikan. Saya mencoba meredam perasaan yang campur aduk. Sungguh, hari itu guntur dan halilintar terasa begitu dekat, meski di kawasan jatinangor ini adalah hal yang lazim mendengar dentuman atau kilatan cahaya setiap kali hujan datang. Mengambil al-quran, kembali duduk.
Belum tuntas membaca satu halaman, halilintar dan guntur yang lebih mengerikan menyerang asrama. Alarm di lantai lima berbunyi sangat  keras. Refleks, saya membuka pintu kamar, melihat ke sekeliling, tak ada satupun orang. Dan entah dorongan dari mana, saya menggedor pintu kamar sebelah sambil berteriak untuk segera keluar. Koridor lantai 4 masih sepi, entah kuliah atau masih terlelap, sementara alarm di lantai 5 tetap meraung-raung. Kembali ke kamar, dengan kepanikan yang tidak bisa saya kendalikan,  sigap mengambil laptop, hp dan sekotak berkas penting, lalu kembali keluar kamar. Fikiran saya campur aduk. Apa mungkin lantai 5 disambar, atau lantai lainnya terbakar, atau dalam hitungan menit seluruh asrama akan tinggal cerita.  Masih berteriak memanggil tetangga kamar yang saya tahu ada di kamar, menurunkan pandangan ke lantai empat, beberapa adik-adik s1 terlihat bergegas menuju tangga. Saya pun gegas mengunci pintu dan semakin panik saat  mendapati penghuni asrama putra naik ke atas dan berteriak dengan wajah yang agak panik agar segera turun ke bawah.

Apakah ini jatah terakhir disini? Saya menuruni anak tangga dengan super kilat bersama penghuni lantai empat lainnya. Petugas asrama dan beberapa satpam di lantai satu mengintrogasi kilat, menanyakan sisa penghuni di atas sana, berlalu cepat, menaiki anak tangga memanggil sisa penghuni.

Hujan es. Itulah yang saya dengar dari teman-teman yang sudah berkumpul di lantai satu. Suasana mencekam seperti itu mengingatkan saya akan gempa-gempa susulan lepas tsunami 2004 yang lalu di aceh. Bukan sekali dua kepanikan seperti itu muncul ketika saya kuliah di banda aceh, siapa menyangka jauh dari aceh yang langganan gempa, ternyata  kepanikan serupa harus kembali saya rasakan.


Hampir satu jam penghuni asrama berkumpul di lantai satu, beberapa masih dengan mukena, turun seadanya dengan selimut, tanpa berkas penting yang sempat dibawa atau pun alat komunikasi.  Alarm akhirnya berhenti berteriak. Meski masih was-was seluruh penghuni asrama kembali ke kamar masing-masing merapal do’a agar tak perlu mendengar alarm kembali bernyanyi. 

sekian dulu, hanya ingin menyimpan sedikit kenangan

Asrama ITB Jatinangor
18 Maret 2014

1 komentar:

Rg mengatakan...

Saya anak Langsa yang sedang di Jatinangor juga, tapi Unpad. Tetanggaan kita :D

Posting Komentar