Selasa, 21 Januari 2014

Road From ITB (Ayat pertama)

foto diambil dari http://bundafe.blogspot.com/2011/04/belajar-dari-pohon.html

Hari ini aku mendapatimu terdiam di sudut jendela. menetap lepas rimbun canopy mahoni yang berbaris rapi di sekeliling tempat tinggalmu. Aku tahu, hatimu kembali lebam menemukan satu dua perkara bereceran tak rapi, meski susah payah kau setrika. Kau, meminjam sedikit panas surya bukan untuk memanggang pengalamanmu sampai hangus, namun agar beku yang tak kunjung leleh itu segera cair. Aku tahu ada bagian perasaanmu yang diam-diam tergores karena terlampau beku. Apa mungkin karena akhir-akhir ini temperatur lingkungan tempat tinggalmu semakin gigil? atau, jangan-jangan kau sudah lupa bahwa kau sudah berjanji akan menjemput banyak pelangi kebaikan di sini? atau mungkin karena kau sudah kalah dalam perkara menebar kebaikan?

Aku ingin kau kembali mengingat ini bahwa Dia melihat dengan terang ke dalam hatimu, ke dalam niat yang kau canangkan. bukan perkara rupamu.  sekalipun yang kau dapati adalah niatmu tak terlampau baik berjalan. Tersendat di satu dua tikungan, tapi bukankah segala proses ini telah pelan-pelan membentukmu menjadi pribadi yang lebih kokoh. Karena bagaimana pun pahitnya pengalaman, jalan hidup yang berbatu-batu, jika kau mau sabar saja sedikit, makna kebaikan itu akan kau baca dengan sendirinya. Kebaikan yang selalu saja ada di balik setiap cobaan yang diberi. Bukan tidak mungkin, Allah mengajarimu agar lebih bijaksana dalam melewati sisa detak yang masih dititipi dengan cara seperti ini. dengan alur yang membuatmu lebih dekat sejengkal demi sejengkal. lebih sabar segaris demi segaris.



Kau masih ingat tidak, kau pernah bertutur panjang lebar perkara ketakutan akan alamat hidup yang makin menepi, dengan serombongan masalah pelik yang kau cemaskan tidak mampu selesai dengan baik? Kau berkata dengan kata yang terpenggal berkali-kali, bahwa hal yang sangat mencemaskan dalam hidupmu adalah ketika kau akan dijemput pulang, lalu yang kau temui adalah banyak orang yang ternyata masih terluka dengan perangai burukmu. aku ingat bagaimana nafasmu tersengal melisankan kata-kata tersebut, bagaimana anak sungai matamu yang bisa kau tahan di depan orang banyak, ruah tak tertampung lagi. Meski kau bilang pernah tumpah sekali dua waktu di depan orang-orang yang cukup baik, tapi tetap saja kau pasang penghalang kilat agar tak banjir di halaman yang tak ingin kau rendam.aku juga masih ingat, Bagaimana getar tubuhmu bercerita banyak bahwa kau sama sekali tak ingin menjadi petaka bagi banyak orang. 

Aku iseng bertanya, lalu jika ternyata garis hidup yang kau inginkan baik-baik saja berakhirnya ternyata justru mengantarmu ke lintasan dimana orang-orang justru berkata kehadiranmu justru menjadi bencana bagi bumi ini, misal sebagai perusak keseimbangan alam, atau  karena kau sama sekali tak mampu membawa diri mengikuti atau melawan arus? Lalu menjadi penghancur beberapa pondasi yang sudah kokoh? Kau diam cukup lama. Terisak lagi lebih dalam. Sajadahmu sampai bisa kuperas kala itu. lalu, lagi-lagi, dengan terbata kau  melempar satu kalimat panjang.

"Bukankah masih ada do'a yang bisa dilantunkan seorang muslim? Untuk negara ini, penghuni keseluruhannya. Agar kebaikan selalu tercurah, agar damai bisa subur. seperti untuk mereka nun jauh di sana, di tanah terjajah, yang kerap kali kita do’akan bersama? dan bukankah kau bilang, bahwa Allah memandang niat. Melihat proses, sementara hasil itu menjadi bagian Allah saja.  bukankah kau bilang, suka-suka Allah mau menetapkan garis akhir kita seperti apa?”

“Lalu perkara pencapaian  dari usaha yang kau geluti sekarang, yang jauh dari standar?” Aku sadar bahwa aku kelepasan bicara. Tapi anehnya, Kali ini aku mendapati senyummu terbit.
“perlu kuulang kata-kata seorang dosen?” matamu mengerjap. Ada sekilas bahagia di sana.
“Urusan ini Bukan perkara angka temanku, tapi lajunya, angka nolku yang bergerak pelan meski tidak pernah melampaui bilangan 70, tetap saja suatu hasil yang cukup menyejukkan. Berbeda posisinya, jika sebelumnya angka usahaku ternyata 60 lalu naik ke angka 80. Kau lihat satu jenis pohon  dari bagian timur indonesia yang berdiri satu dua di antara julang tinggi mahoni, di sana?” Telunjukmu mengarah ke titik hutan yang kita lewati ketika tugas lapangan mengajarimu mengenali  bahagian alam raya.

“Seperti mereka aku tumbuh pelan-pelan di habitat yang sebenarnya bukan lahan tumbuhku. Dan , ketika aku sadar, aku sedang menaiki tangga yang jelas-jelas berbeda tingkat kelicinannya, aku mulai meresapi bahwa hidup ini bukan hanya perkara pencapaian angka tertinggi. Melainkan pembelajaran untuk lebih memahami, Survive, sekalipun lahan yang kutempati tidak memberi asupan nutrisi yang sama dengan lahan berfikirku ketika masih di tingkat calon sarjana dulu. Mungkin dengan cara begini, aku bisa membaca lebih banyak hal di dunia ini, ketika hidup bukan hanya sebatas pemahaman mengenai dunia teknik kimia. Melainkan bagaimana membaca tanda-tanda Kebesaran-Nya yang terhampar luas di seluruh aspek ilmu pengetahuan dan kehidupan."

Aku terdiam. ingin mengangguk tapi terlalu lemah. membiarkan mataku, mengikuti pandanganmu menerobos jejeran mahoni yang dahannya menari pelan-pelan.

Ya, hari ini, aku sependapat, salah satu tugas penting kita adalah "membaca", seperti ayat pertama yang diturunkan.

Shafira green sulaiman
Jatinangor, 21 januari 2014
Masih dengan angka termometer di bawah 20 Celsius 

0 komentar:

Posting Komentar